Sekolah Petra Manyar
merupakan sekolah favorit di Surabaya, aku dan ceceku berasal dari SD Dapena
bisa dibilang kami berdua seakan-akan ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersekolah
di Petra Manyar. Mengapa? Saat selesai kelulusan ceceku bisa dibilang ceceku
terlambat untu mendaftar di SMP selain Dapena, karena memang orang tua kami
berencana untuk tidak melanjutkan di Dapena, banyak sekali SMP yang cukup
favorit dan terkenal yang sudah menutup pendaftarannya, ajaibnya hanya SMP
Petra 3 yang masih membuka pendaftaran dan saat itu ternyata sudah hari
terakhir pendaftaran, saat jaman ceceku, penerimaan siswa dari luar Petra hanya
dilihat dari nilai Danem dan nilai ceceku saat itu benar-benar mepet dengan
nilai minimum yang diterima oleh Petra Manyar, saat melihat peringkatnya,
ceceku masuk peringkat nomer 2 dari bawah.
Aku saat SD dulu bisa
dibilang cukup baik nilainya, walau aku tampak alim di sekolah, tapi aku suka
bermain game saat di rumah, belajar matematika hanya 5 menit saja, nilainya
sudah diatas 90, bukannya sombong tapi memang di sekolahku siswa siswinya tidak
secemerlang di Petra Manyar. Aku saat SD sangat amat menyukai pelajaran IPS,
bahkan secara tidak sengaja sudah hafal catatan tanpa harus dipaksa untuk mempelajari
dan manghafalnya. Aku saat kelas 6 mendapat peringkat 1 saat itu, jadi aku
diberi tawaran keringanan untuk sekolah di SMP Dapena, memang murah sekali
biayanya, tapi tetap aku mendaftar di Petra Manyar. Saat SD sebenarnya aku
merasa diriku pintar jadi saat H-1 sebelum tes aku malah bermain game, aku
dimarahi habis-habisan oleh papa saat itu akhirnya aku ‘terpaksa’ belajar malam
harinya. Saat tes ada 3 mata pelajaran yang diujikan yaitu matematika, IPA, dan
IPS. IPA dan IPS soalnya digabung jadi 1x tes. Saat matematika aku tidak
mengalami kesulitan yang berarti, saat tes kedua, soal IPA yang diujikan
terlebih dahulu dan aku benar-benar shock dengan soalnya karena aku sama sekali
tidak bisa menjawab, semua jawaban dari 50 soal aku awur, saat melihat soal IPS
karena aku menyukai pelajaran IPS aku sangat amat lancar mengerjakannya, aku
cukup yakin dengan jawaban soal IPS ku. Saat istirahat aku bertemu dengan juara
umum SD Dapena yang juga sainganku sejak kelas 2 SD (tapi aku tidak pernah
menang sih), aku cukup malu dengannya. Sejak saat itu benar-benar seperti
mendapatkan tamparan keras, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan
jatuh juga benar-benar terjadi dalam diriku. Aku sudah siap untuk sekolah di
SMP Dapena saat itu.
Saat pengumuman, ada 16 orang
dari 100an peserta luar petra yang diterima, dan aku ada di peringkat 3 dari
bawah, sungguh luar biasa, aku benar-benar tidak menyangka. Bersekolah di Petra
Manyar memang membukakan mata kita bahwa di atas langit masih ada langit,
janganlah sombong. Saat SMP aku sudah tidak merasa pintar lagi, aku merasa
sebagai siswa biasa-biasa saja bergitu pula berkelanjutan sampai kuliah tapi
justru dengan begitu aku lebih memiliki banyak teman dibanding saat SD. Saat
aku mulai menyadari bahwa aku hanya siswa biasa-biasa saja aku melihat
orang-orang yang pintar dan sombong seperti aku dulunya merasa apa yang kamu
banggakan? Piala dan Raport dengan predikat istimewa sudah tidak menarik lagi
dan tidak membuat orang lain melihatmu wah. Tapi bila memang kita diberkati dengan
nilai yang wah, hendaklah kita bersyukur dan tidak disombongkan, aku merasa
lebih dapat surprise saat melihat nilai semester 6 ku dibanding saat aku
dulunya dipanggil maju ke depan untuk mendapatkan piala sebagai juara umum ke 2
SD Dapena.
Kegagalan yang membuat kita
bangkit, tapi dari kegagalan pula kita tidak menjadi besar kepala.