Jumat, 25 Oktober 2013

When I was a kid, I wish I could be a doctor because doctor can help others. When I was in elementary school, my grade was good enough so my father allowed me to enter Petra 3 Christian Junior High School, a well known school in my hometown. Because the school is highly competitive, I realized that I couldn’t stand by myself, I should maintain good relationship with other people. When I was in High School, I realized that my biology grade was not good enough, so I thought it would be difficult to be a doctor, I finally gave up my dream to be a doctor. Then I decided to study Civil Engineering since I deeply interested math and drawing perspective. Civil Engineering is known as the most difficult major in Petra Christian University, I know it will be difficult so I planned to finish my study in 4,5 years (normally 4 years), I didn’t have a good plan when I started my bachelor degree, I just though to pass my classes, I didn’t think to have an excellent grade. I know study in Civil Engineering is not easy, I must study together with my friends. Civil Engineering students are known as an unified group and I can recognize the true friendship when I became a civil engineering student. When 4th semester, I realized that I could pass my study within 4 years, so I changed my plan to be graduated in 7th semester. I know I wasn’t an excellent student, but I know there are a lot of my friends that need my help. I think, I better help other to study than I must study alone to get excellent grade. Some of my friends must face college life with struggle, I feel peaceful when I could teach and help them. In 5th semester, I chose Management Construction Department because I want to learn more about actual condition in project, there are many factors can be happened in project, so is in our life. I want to learn about how to face some risks, how to make decision, how to plan something well, how to manage something and how to help others. In 6th semester I could reach my highest GPA of semester, I have never realized that I could reach 3,93 for my GPA of semester. When I tried to count my grade, I realized that I couldn’t get cumlaude predicate if I took my study for 7 semesters, but I still stick on my plan, I still choose finishing my study for 7th semesters and then I worked to General Contractor Company. I want to get work experience first than I apply for study in master degree, because for me, experience is more essential than excellent grade.

Jumat, 18 Oktober 2013

Bromo with Kelekers

Setelah kembali dari Jogja Solo, aku meluangkan sehari kosong untuk istirahat dan mengurus surat rekomendasi. Tapi malamnya bersiap-siap untuk melakukan next trip yaitu Bromo. Kami ber 8 saat ke bromo dengan Lucky sebagai pelopor merangkap sopir. Sebenarnya takut juga loh disopiri Lucky karena dia baru 4 bulan bisa menyetir dan medan di bromo itu cukup extreme, aku sendiri saja tidak berani menyetir ke Bromo. Tapi karena takut menyakiti perasaannya jadi aku hanya berdoa dan berserah kepada Tuhan. Kami berkumpul di SWK, aku, aeli dan SS dijemput bebek, sebelumnya aku tidak tahu dijemput jam berapa jadi sekitar jam 5 aku tiduran dulu dan sekitar setengah 6 Aei Li memberitauku untuk dijemput jam setengah 7. Jelas kaget bukan main aku, badan belum sempat tidur sudah disuruh siap mepet begitu, jadi aku buru-buru mandi dan menyemil makanan sedikit, alhasil aku sudah siap jam 6.20. aku tunggu sampai jam 8 tak kunjung datang si bebek, bahkan sampai aku main pokopang naik level, si bebek belum juga menunjukkan batang hidungnya. Sebel banget, karena tau gitu waktunya aku gunakan untuk tidur saja, dan memang benar aku baru dijemput jam setengah 9. Sebelumnya kami makan malam indomie daerah swk gara-gara Ratna ngidam, padahal kemarinnya kami baru saja makan mie instan di kereta. Agak sedikit bersalah karena minggu itu aku sering makan mie instan. Akhirnya baru benar-benar cabut pukul 22.00. Perjalanan cukup panjang ke bromo, apalagi jalanan begitu gelap dan saat mendekati lokasi, kerap kali aku bilang “woles” karena untuk memastikan juga agar Lucky safety riding. Tapi ternyata aku terlalu meremehkan Lucky, buktinya kami dengan aman sampai di lokasi, di sana masih sekitar jam 2.30 dan ternyata waktu yang tepat untuk cus lihat matahari terbit adalah jam 3.30 berangkat dari lokasi kami saat itu. Jadi kami gunakan waktu tersebut untuk tidur. Udara di sana dingin sekali, aku berbaju lapis 3 pun masih kedinginan, akhirnya aku membeli masker dan sarung tangan, ternyata tidak terlalu mahal juga. Sebenarnya kakiku sekembali dari Joglo masih belum pulih sih, tapi ya tetap dijalani saja di bromo ini. Kami menyewa Hardtop 2 unit, masing-masing di banderol 700 ribu. Sedangkan 1 unit cuma diisi 4 orang, lumayan mahal memang. Destinasi pertama kali yaitu ke puncak penanjakan untuk melihat sun rise, ternyata hardtop-hardtop banyak sekali saking banyaknya sampai masih tetap harus jalan menanjak ke spot yang diinginkan. Jalannya lumayan jauh lagi. Sampai di sana sudah banyak sekali orang dan bersesak-sesakan, kami saja dapat spot yang dekat toilet sambil berdesak-desakan. Tapi ternyata menunggu sun risenya masih lama, tidak keluar-keluar, aku sampai sempat ketiduran di saat teman-temanku asik selca padahal itu posisiku lagi berdiri dan berdesak-desakan loh, masih bisa ketiduran !!! Setelah melihat sun rise, saat akan kembali ke hardtop kami, kami mampir beli kentang godok. Lumayan enak loh apalagi untuk mengganjal perut. Setelah itu kami menuju daerah kawah, tapi hardtop Cuma berhenti sampai padang pasir dan kami masih harus berjalan sekitar 2 km. tapi tidak terlihat jauh jadi kami memutuskan untuk tetap berjalan. Sampai di kaki kawah stamina sudah lumayan habis, dan kami kehilangan jejak Aei Li, Ratna dan bebek jadi kami mendaki ber 5. Ngos-ngosan banget akumulasi berjalan ini. Yanto saja perlu effort yang tinggi, setelah mendekati masih harus naik tangga berjumlah kurang lebih 250 anak tangga. Kakiku sudah tidak berbentuk, di atas ternyata rame sekali, kami sempat berfoto-foto sedikit. Setelah selesai, aku memutuskan menyewa kuda 25ribu saja sampai pura. Tapi malang nian, kalau naik kuda saat menuruni gunung aku sangat tidak merekomendasikan karena menakutkan dan terasa tidak seimbang malah aku harus menjaga keseimbangan dan bokong serasa dipukul berkali-kali. Setelah sampai di pura kami tetap harus berjalan beberapa meter sampai hardtop kami, oya di padang ini ada banyak ranjau kotoran si kuda loh. Jadi harus hati-hati. Setelah itu kami menuju bukit teletubies yang konon katanya, bentuk bukit ini mirip seperti bukit di teletubies, tapi ternyata tidak ada menariknya sama sekali, jadi kami beli bakso di sana karena lapar, tapi ternyata baksonya selain tidak enak, isinya kanji saja dan dibumbui deburan-deburan debu sungguh sangat tidak menyenangkan. Setelah itu kami memutuskan untuk kembali. Oleh-oleh yang di dapat dari bromo ini adalah, patahan kaki (karena terlalu capek), mata lebam (karena kurang tidur), rambut dan tangan kasar (karena kena debu), tapi juga perasaan happy bisa pergi bersama teman-teman.

Menganggur di Kantor adalah Hal yang Tidak Menyenangkan

Mungkin kalau anda belum bekerja anda akan berpikir enak ya di kantor nganggur cuma nunut ngadem. Padahal menganggur di kantor adalah hal yang paling aku benci saat ada di kantor. Lebih baik banyak kerjaan daripada menganggur. Tapi susahnya jadi seorang estimator adalah kerjaannya musiman jadi kadang sibuk sekali tapi kalau lagi nganggur ya nganggur sekali. Dulu waktu senggang aku gunakan untuk belajar TOEFL, sekarang bahkan sungkan kalau mau main karena kelihatan bosnya. Jika anda berpikir menganggur di kantor adalah hal yang menyenangkan maka anda salah besar !!!

Dilema dalam Mendaftar di NTUST

Banyak sekali ketakutan yang aku alami dalam mendaftarkan diri di NTUST, walau aku tahu untuk dapat diterima di NTUST sebenarnya tidak susah, tidak ada batasan IPK dan TOEFL tapi yang menjadi masalahnya adalah yang akan mendaftar bersamaku ini merupakan bibit-bibit unggul di teknik sipil UK Petra, bayangkan IPku walau tidak cumlaude ini merupakan IP yang paling jelek yang mau mendaftar dari UK Petra, TOEFLku pun berantakan, selain itu yang mau mendaftar semuanya cumlaude dan merupakan aslab. Kadang aku berpikir, kenapa untuk dapat mendapatkan kebahagiaan, sulit sekali perjuangannya dan ternyata yang aku peroleh selama ini belumlah cukup memuaskan. Yang hanya bisa aku perbaiki hanyalah nilai TOEFL itupun aku tidak yakin dapat memperbaikinya sampai seberapa pun. Maka dari itu aku berpura-pura tidak tahu siapa lawan-lawanku dan tetap melakukan yang terbaik. Jika memang Tuhan berkehendak maka jadilah

Seberapa Pentingnya Les?

Aku akan bercerita di luar TOEFL, karena aku yakin aku saja yang menjalani sudah cukup muak apalagi dengan yang membacanya. Sekarang aku akan membuat topic mengenai les pelajaran saat masih di jenjang sekolah. Saat sudah masuk di bangku kuliah, mungkin masalah bagi para mahasiswa adalah mereka tidak biasa untuk belajar mandiri, tapi hal tersebut sama sekali bukan masalah bagi aku karena aku memang tidak pernah les sejak TK, pernah sih, waktu TK ikut ekskul bahasa Inggris karena ikut-ikutan doank, SD pernah setahun ikut les privat tapi malah rankingku turun dan SMA pernah les matematika untuk olimpiade selama beberapa bulan. Lain dari itu tidak pernah, boro-boro les music atau bahasa, les pelajaran mafia sekolah saja tidak pernah. Jadi aku sudah biasa belajar sendiri. Sebenarnya waktu SD aku tidak mempermasalahkan aku tidak les, karena memang persaingan di SD ku cukup mudah, belajar matematika cuma buka buku 5 menit sudah bisa ranking 1 atau 2. Tapi itu dulu, saat aku SMP aku menyadari diriku tidak sejenius itu. SMP aku masuk di sekolah favorit Petra 3, susah untuk masuk sekolah ini tapi susah juga keluarnya. Walau jaman SMP ini merupakan jaman terburuk dalam hidupku tapi di jaman inilah ada titik balik kehidupanku, aku yang dulunya sombong dan merasa paling pintar sekarang merasa aku hanyalah siswa biasa tidak ada yang bisa aku banggakan, tapi gawatnya seorang siswi SMP adalah masa akil balik jadi aku benar-benar minder dengan diriku saat SMP, stress karena nilai, stress tidak punya teman, stress penampilan. Dulu waktu aku SMP culun sekali loh, gemuk, rambut belah bokong dan pakai kacamata bulat. Saat SMP kelas 2 atau 3 aku memutuskan untuk diet mengurangi porsi nasi dan cukup berhasil beratku yang semula 54kg dengan tinggi 150 an bisa menjadi 50 kg (tidak signifikan sih, tapi lumayan lah). Saat SMP kelas 3 juga aku mulai menggunakan softlens. Dan kembali lagi ke topic, aku tidak les sama sekali saat SMP. Jaman SMP – SMA merupakan jaman yang cukup sulit bagi keluargaku, kami pindah rumah 2x itupun pindah rumah bukan karena beli rumah baru, justru rumah lama dijual dan kontrak, setelah kontrak selesai pindah rumah keluarga besar. Boro-boro untuk les, untuk uang sekolah saja aku kerap dipanggil TU karena menunggak berbulan-bulan. Pepatah “No pain No Gain” memang benar adanya, saat aku masuk dunia kuliah, keadaan keluarga sudah agak membaik, jurusan yang terkenal sulit ini aku jalani tanpa adanya penyesuaian yang begitu berarti. Memang aku tidak punya target saat aku Maba, ada sih target, yaitu lulus 4,5 tahun karena aku menyadari bahwa aku bukanlah anak yang brilliant dan aku sadar bahwa Teknik Sipil merupakan jurusan yang sulit jadi molor itu wajar asal molornya wajar juga, setengah tahun cukup. Aku sudah terbiasa belajar dan memahami materi sendiri walau memang aku system SKS, aku bukanlah orang yang gila nilai, asalkan lulus saja itu sudah merupakan anugrah yang luar biasa bagiku. Teknik Sipil terkenal sebagai jurusan yang kita tidak dapat belajar sendiri, dan aku menyetujui hal itu. Aku menyadari banyak teman-temanku yang kelabakan karena mereka tidak biasa belajar sendiri karena saat masa lalu mereka kerap les. Aku sebenarnya menyadari 75% dari materi Teknik Sipil aku dapat kuasai dengan belajar sendiri, tapi di Teknik Sipil inilah aku benar-benar menyadari apakah yang disebut sahabat dan kebersamaan. Awalnya aku belajar bersama dengan teman-teman yang notabene pintar dan ber IP tinggi (sebagai info, IP ku standart saja), dengan berharap kita dapat membantu satu sama lain, tapi lama kelamaan aku melihat, mereka lebih cenderung ingin menguasai sendiri, saat bagian yang aku mengerti, aku akan mengajari mereka, saat ada bagian yang memang lain dari yang lain dan aku tidak mengerti , mereka juga mengajariku sih tapi kalau aku tidak minta, ya mereka tidak akan menawarkan. Kadang aku merasa, kamu itu lebih pintar dari aku tapi mengapa kamu yang tanya sama aku. Pernyataanku ini agak offensive sih, tapi aku garis bawahi, tidak semua orang pintar seperti itu. Beberapa yang aku kenal, menyadari bahwa mereka pintar tapi mereka sadar juga bahwa hal tersebut tidak perlu dibanggakan dan mereka juga kerap membantu yang membutuhkan. Saat aku membalikkan badanku ke belakang, ternyata ada banyak orang yang jauh lebih membutuhkan aku daripada orang yang ada di depanku, dari situlah walau aku sudah mengerti atau bahkan sudah melewati kelas tersebut, aku kadang membantu teman-temanku itu. Sebenarnya dapat membantu teman jauh lebih menyenangkan dibanding mendapat nilai A, melihat teman yang bisa lulus mata kuliah jauh lebih mengharukan daripada nama kita dipanggil di depan saat wisuda dengan predikat cumlaude (walau aku tidak mengalaminya sih). Maaf, agak sedikit menyimpang dari topic, yang menjadi pertanyaan saya adalah seberapa pentingkah les untuk anak-anak? Menurut saya lebih baik anak menjadi mandiri dan professional walau anak tersebut tidak dapat meraih bintang kelas dibanding dia dapat menjadi bintang kelas dengan tuntunan dari seorang yang professional tapi tidak cukup punya kemandirian dan tetap bergantung pada orang lain. Les boleh saja, yang memang mendukung minat, potensi dan juga kebutuhan anak tersebut (seperti les bahasa inggris, balet, dll).
Kadang apa yang dilihat orang lain begitu hebat sebenarnya tidak sehebat hal yang dapat kamu peroleh yaitu pelajaran hidup.