Jumat, 18 Oktober 2013

Seberapa Pentingnya Les?

Aku akan bercerita di luar TOEFL, karena aku yakin aku saja yang menjalani sudah cukup muak apalagi dengan yang membacanya. Sekarang aku akan membuat topic mengenai les pelajaran saat masih di jenjang sekolah. Saat sudah masuk di bangku kuliah, mungkin masalah bagi para mahasiswa adalah mereka tidak biasa untuk belajar mandiri, tapi hal tersebut sama sekali bukan masalah bagi aku karena aku memang tidak pernah les sejak TK, pernah sih, waktu TK ikut ekskul bahasa Inggris karena ikut-ikutan doank, SD pernah setahun ikut les privat tapi malah rankingku turun dan SMA pernah les matematika untuk olimpiade selama beberapa bulan. Lain dari itu tidak pernah, boro-boro les music atau bahasa, les pelajaran mafia sekolah saja tidak pernah. Jadi aku sudah biasa belajar sendiri. Sebenarnya waktu SD aku tidak mempermasalahkan aku tidak les, karena memang persaingan di SD ku cukup mudah, belajar matematika cuma buka buku 5 menit sudah bisa ranking 1 atau 2. Tapi itu dulu, saat aku SMP aku menyadari diriku tidak sejenius itu. SMP aku masuk di sekolah favorit Petra 3, susah untuk masuk sekolah ini tapi susah juga keluarnya. Walau jaman SMP ini merupakan jaman terburuk dalam hidupku tapi di jaman inilah ada titik balik kehidupanku, aku yang dulunya sombong dan merasa paling pintar sekarang merasa aku hanyalah siswa biasa tidak ada yang bisa aku banggakan, tapi gawatnya seorang siswi SMP adalah masa akil balik jadi aku benar-benar minder dengan diriku saat SMP, stress karena nilai, stress tidak punya teman, stress penampilan. Dulu waktu aku SMP culun sekali loh, gemuk, rambut belah bokong dan pakai kacamata bulat. Saat SMP kelas 2 atau 3 aku memutuskan untuk diet mengurangi porsi nasi dan cukup berhasil beratku yang semula 54kg dengan tinggi 150 an bisa menjadi 50 kg (tidak signifikan sih, tapi lumayan lah). Saat SMP kelas 3 juga aku mulai menggunakan softlens. Dan kembali lagi ke topic, aku tidak les sama sekali saat SMP. Jaman SMP – SMA merupakan jaman yang cukup sulit bagi keluargaku, kami pindah rumah 2x itupun pindah rumah bukan karena beli rumah baru, justru rumah lama dijual dan kontrak, setelah kontrak selesai pindah rumah keluarga besar. Boro-boro untuk les, untuk uang sekolah saja aku kerap dipanggil TU karena menunggak berbulan-bulan. Pepatah “No pain No Gain” memang benar adanya, saat aku masuk dunia kuliah, keadaan keluarga sudah agak membaik, jurusan yang terkenal sulit ini aku jalani tanpa adanya penyesuaian yang begitu berarti. Memang aku tidak punya target saat aku Maba, ada sih target, yaitu lulus 4,5 tahun karena aku menyadari bahwa aku bukanlah anak yang brilliant dan aku sadar bahwa Teknik Sipil merupakan jurusan yang sulit jadi molor itu wajar asal molornya wajar juga, setengah tahun cukup. Aku sudah terbiasa belajar dan memahami materi sendiri walau memang aku system SKS, aku bukanlah orang yang gila nilai, asalkan lulus saja itu sudah merupakan anugrah yang luar biasa bagiku. Teknik Sipil terkenal sebagai jurusan yang kita tidak dapat belajar sendiri, dan aku menyetujui hal itu. Aku menyadari banyak teman-temanku yang kelabakan karena mereka tidak biasa belajar sendiri karena saat masa lalu mereka kerap les. Aku sebenarnya menyadari 75% dari materi Teknik Sipil aku dapat kuasai dengan belajar sendiri, tapi di Teknik Sipil inilah aku benar-benar menyadari apakah yang disebut sahabat dan kebersamaan. Awalnya aku belajar bersama dengan teman-teman yang notabene pintar dan ber IP tinggi (sebagai info, IP ku standart saja), dengan berharap kita dapat membantu satu sama lain, tapi lama kelamaan aku melihat, mereka lebih cenderung ingin menguasai sendiri, saat bagian yang aku mengerti, aku akan mengajari mereka, saat ada bagian yang memang lain dari yang lain dan aku tidak mengerti , mereka juga mengajariku sih tapi kalau aku tidak minta, ya mereka tidak akan menawarkan. Kadang aku merasa, kamu itu lebih pintar dari aku tapi mengapa kamu yang tanya sama aku. Pernyataanku ini agak offensive sih, tapi aku garis bawahi, tidak semua orang pintar seperti itu. Beberapa yang aku kenal, menyadari bahwa mereka pintar tapi mereka sadar juga bahwa hal tersebut tidak perlu dibanggakan dan mereka juga kerap membantu yang membutuhkan. Saat aku membalikkan badanku ke belakang, ternyata ada banyak orang yang jauh lebih membutuhkan aku daripada orang yang ada di depanku, dari situlah walau aku sudah mengerti atau bahkan sudah melewati kelas tersebut, aku kadang membantu teman-temanku itu. Sebenarnya dapat membantu teman jauh lebih menyenangkan dibanding mendapat nilai A, melihat teman yang bisa lulus mata kuliah jauh lebih mengharukan daripada nama kita dipanggil di depan saat wisuda dengan predikat cumlaude (walau aku tidak mengalaminya sih). Maaf, agak sedikit menyimpang dari topic, yang menjadi pertanyaan saya adalah seberapa pentingkah les untuk anak-anak? Menurut saya lebih baik anak menjadi mandiri dan professional walau anak tersebut tidak dapat meraih bintang kelas dibanding dia dapat menjadi bintang kelas dengan tuntunan dari seorang yang professional tapi tidak cukup punya kemandirian dan tetap bergantung pada orang lain. Les boleh saja, yang memang mendukung minat, potensi dan juga kebutuhan anak tersebut (seperti les bahasa inggris, balet, dll).
Kadang apa yang dilihat orang lain begitu hebat sebenarnya tidak sehebat hal yang dapat kamu peroleh yaitu pelajaran hidup.

1 komentar: